
Anak Bukan Kertas Kosong
Pengasuhan sesungguhnya tidak
bebas nilai. Praktik pengasuhan tidak bisa dilepaskan dari filosofi yang
melatarbelakanginya, di antaranya adalah cara kita memandang anak.
Salah satu pandangan tentang
anak yang banyak digunakan saat ini adalah teori "Tabula Rasa". Tabula rasa berasal
dari bahasa Latin, artinya kertas kosong. Tabula rasa merujuk pada teori yang
menyatakan bahwa anak-anak terlahir tanpa isi, dengan kata lain kosong. Teori
ini dipengaruhi oleh pemikiran John Locke, dari abad 17.
Teori tabula rasa ini menjadi
salah satu asumsi dasar yang secara sadar atau tidak sadar telah banyak
dipahami oleh orang tua.
Dengan asumsi bahwa anak adalah
sebuah kertas kosong, maka dibutuhkan orang tua atau pihak eksternal untuk
menolong anak. Tugas orang tua atau orang dewasa lainnya adalah mengisi kertas
kosong itu dengan informasi-informasi (pengetahuan) yang penting bagi
anak-anak.
Teori tabula rasa ini memandang
anak-anak dengan cara yang sangat reduktif. Hal ini mengakibatkan sentral
proses belajar terletak pada orang dewasa dan anak-anak secara tidak sadar
selalu diposisikan dalam kondisi pasif (karena mereka hanya dianggap sebuah
kertas kosong yang harus diisi).
Teori tabula rasa ini
menjelaskan fenomena anak-anak keluarga saat ini. Kegiatan utama pembelajaran
didominasi oleh orang tua yang menjelaskan materi pelajaran (mengisi kertas
kosong), sementara anak-anak dituntut untuk mendengarkan dan menerimanya.
Anak harus menghafal dan
mem-fotocopy penjelasan orang tua dan atau orang dewasa. Keterlibatan anak tak
dianggap terlalu penting, apalagi pendapat dan inisiatif anak. Kalaupun ada,
semua itu hanya bersifat suplemen untuk kegiatan utama tadi, yaitu mengisikan
pembelajaran pada anak-anak.
Lalu, sampai kapan “kertas
kosong” itu berisi?
Padahal, anak-anak adalah individu, bukan kertas kosong.
Setiap anak memiliki potensi yang melekat dalam dirinya.
Memang ada bagian individu pada
anak-anak yang belum berkembang seperti orang dewasa. Tetapi, individu itu
bukan kertas kosong yang pasif menerima apapun pengaruh dari lingkungannya.
Ketika kita memandang anak
sebagai individu, itu akan membuat proses pengasuhan yang kita lakukan berbeda
dibandingkan jika kita memandang anak sebagai kertas kosong.
Jika kita meyakini bahwa
anak-anak kita bukanlah sekedar kertas kosong, maka kita akan memperlakukan
anak-anak kita dengan cara berbeda. Kita tidak hanya memaksakan aneka perintah
dan nasihat, tapi juga memperhatikan respon mereka. Kita tidak hanya sibuk
memasukkan pengetahuan pada anak-anak kita, tetapi juga berusaha
mengeluarkan potensinya.
Dengan memandang anak sebagai
individu yang bukan seperti kertas kosong, kita lebih melibatkan anak dalam
proses pengasuhan untuk dirinya sendiri; kita mendengarkan dan memperhatikan
pendapat mereka serta menjadikannya sebuah hal yang penting dalam proses pengasuhan
anak.